Rabu, 17 November 2010

RINCIAN KONTRIBUSI DANA UNTUK DIKLAT ABSTRA KE-III BAGI ANGGOTA PRA/ CALON ANGGOTA BARU ABSTRA

 Transportasi : 40. 000
 Konsumssi @5000 x 5 : 25. 000
 Pin : 5000
 Sertifikat : 3000
 Kesehatan : 2000
 Tiket masuk : 5000

 Total : 80.000
PENUGASAN UNTUK DIKLAT ABSTRA KE –III
TUGAS INDIVIDU
• Membawa pralatan pribadi( shalat dan mandi)
• Membawa kaos oblong atau T-shirt minimal 2 buah
• membawa Celana training 2 buah
• membawa jaket
• membawa slayer
• membawa kaos kaki dan sarung tangan
• membawa obor yang terbuat dari botol-botol minuman
• membawa obat-obatan pribadi
• membawa alat tulis
• membawa mie instan 3 buah
• membawa senter (dilarang senter korek api)
• membuat ID card atau keplek berbentuk semanggi dan di laminating
• membawa sandal jepit dan sepatu kets
• membawa air mineral 1 botol
• membawa kantong plastik 1 buah
• membawa jas hujan
. membawa bawang putih satu siung

TUGAS KELOMPOK
 membawa kayu bakar 4 iket perkelompok
 membawa timun emas dan semangka 1 buah tiap kelompok
 mebawa tali pramuka 4 buah perkelompok
 membawa tongkat pramuka 5 buah perkelompok
 membawa beras 4 kg perkelompok

Sabtu, 21 Agustus 2010

Jumpa yang Sulit diTerjemahkan

Lelaki yang menyimpulkan tali sepatu hitam di depan surau kecil itu adalah rerindu yang bersemedi diantara dimensi ruang dan waktu yang tak mampku kurengkuh

Sedang…

Perempuan yang duduk termangu dengan raut layu sambil memegang dagu, kemudian sesekali melepas rindu pada alunan tembang lagu dibalik dinding-dinding surau adalah aku yang kini bermain dengan sajak temu

Kami bertemu dalam permainan kasat mata dibalik lensa minusku diantara suara-suara sumbang dan tawa riuh di sudut kantin kecil itu

Dan… bangku, meja-meja yang berjejer itu adalah saksi pilu ketika rumput-rumput kecil yang kecoklatan itu berdendang dengan syair yang kubisikkan melalui desiran angin selepasku memandang

Pertemuan kedua

Aku mencoba menafsirkan liup gerimis dimatamu yang berlarian sambil mencoba melempar senyum ketika mata kita saling mencuri di pucuk siang yang menyengat

Jumpamu luluh ratakan pilar-pilar pahatan kebencian hati yang pernah tercabik di ujung musim lalu
Jumpamu mengoyak pula pikir dan imajinasiku yang berkutat dengan seribu tanya tentangmu

Sebab…

Rambutmu tebal berkilau dibebat silau mentari siang
Dan kusaksikan sebentuk lukisan yang tersirat diantara lekuk alismu

Sementara dipucuk pelipis kirimu, bertengger setetes keringat yang siap meluncur di sepanjang rona pipi tirusmu

Hingga tissue basah yang tergenggam kemarin seraya ingin menyeka bintik keringat yang tumpah lalu berkarat diwajahmu

Dan terbacalah sudah kepedihan yang tersembunyi dibalik raut wajah teduhmu yang sayu




Pertemuan ketiga

***
Begitulah…
Igauanku dalam jumpa luruh meremukkan senyum awan-awan sambil melempar asa pada tiap-tiap hari yang kulalui ketika ku tak tau tentangmu



Kota Debu - Pulau Garam,
23-26 Mei 2010

Awank-awank Kecil

Poto-poto DIklat ABStra II di Coban Rondo

SELAMAT DATANG DI COBAN RONDO

Salah satu anggota ABStra yang kini menjadi Ketua Umum UKM FISIB Fotografio dan Jurnalistik 2010, berpose di situs legenda Coban Rondo.


Ketua Umum UKM FISIB ABStra angkatan 2008/2009

Wakil Ketua Umum ABStra 2008/2009



Di bawah ini anggota baru angkatan II
Teroris, Eh, Anggota Baru angkatan II ABStra











Cas Cis Cus Narsisnya Panitia Diklat






Sampai Jumpa di Diklat Anggota Baru ABStra FISIB 2010 Angkatan Ke - III

Senin, 03 Mei 2010

Bangsa Serakah


Merdeka…Merdeka…Merdeka…

Negara tak juga kaya

Masih banyak yang tak punya

Tangisan bayi tak berdosa menahan haus dahaga

Rintihan gemercik air mata orang merana

Kehidupan tak lagi seimbang

Tumpukan emas jadi rebutan

Yang kaya hidup semena-mena

Yang tak punya menadah-nadah

Merdeka…merdeka….merdeka

Tak lagi dikumandangkan kaum bawah

Bangsa ini bangsa serakah.

c_foel
03/04/2010

Rasa danHati



Ku punya rasa dan ku juga punya hati,
Tapi semua sama membiarkan kebahagiaan sirna oleh kekecewaan
Tak seharusnya hati berbicara sendiri,
Walaupun sulit untuk berbagi sedih
Langit, awan, dan matahari semua menyaksikan ku
Yang terbelenggu dalam jerit tangis kesedihan
Daun-daun yang sengaja menghibur ku
Dengan belaian ranting dan dahannya yang lugu
Tapi itu semua tak bisa membuat ku bangkit dari jeratan hati
Begitu juga dengan kawan-kawan ku
Yang selalu memanjakan dengan sentuhan kata-kata lucu membuat ku lupa
siapa aku.

c_foel
03/05/2010

Minggu, 04 April 2010

Kudapan Maut

Kugantung sisa-sisa napas kehidupanku pada akar lapuk
Menjuntai nyawaku pada dahan waktu yang nyaris rapuh
Menunggu saat tangan penebang merenggut dan menghentikan detaknya
Memeras getah hingga menggumpal sewarna mata Cleopatra
Mencabut kehidupan pada akar hingga tunas tak lagi dapat pijakannya
Kutatap nanar pada kekejian tangan takdir merengkuh mangsanya
Merobek keharu-biruan menjadi lenguhan malam
Mengantar yang fana pada gerbang keabadian
Serta bernafaskan nestapa menyesaki dada
Kuseret serpihan raga berujungkan entah dimana
Terpaku pada angin yang tak mampu bersuara menahan desaunya
terhirup aroma vanila bercampur darah, manis dan kejam
Hingga mengerang angin atas darah yang mengalir kering
Berderak-derak langkah takdir menunaikan hajatnya
Sementara di luar sana, entah dimana
Nyawa-nyawa tersaji menjadi kudapan maut.

A.R. Rahma
2010-03-02
kireina.chan@yahoo.com

Sesepi (jangkrik!)

Tak pernah merasa sesepi ini,
sesendiri ini,
cengkrama disebelahku semakin menyudutkanku pada sisi kesendirian
menyadarkan aku betapa pahit dan membingungkan sebuah kesepian
kalau ini memang sebuah hukuman, haruskah aku disalahkan?
Aku Malu pada malam, yang seolah semakin mengejekku dengan pelukan pekat tak berbatasnya
pada bintang, yang menerangi langit dengan kerlipnya tapi tidak pada bumiku
pada angin, yang membelai pucuk pepohonan tapi tidak berhembus pada sisiku
aku malu pada jangkrik jangkrik yang riuh meramaikan malam
menegakkan cuping-cuping telinga setan membisiki nurani semakin dalam
mengirim kesedihan pada pikiran tak beradab dibawah kendali nafsu
menukar rasionalitas pada pancungan akal dengan kamuflase harapan
pada akhirnya tuhan,
hanya pada engkaulah aku meratap.

A.R. Rahma
25-03-2010
kireina.chan@yahoo.com

Dan Perjalanan Tak Pernah Usai

Keletihan sesungguhnya telah memakan sebagian semangat kami untuk berjalan menuju lembah. Sejak pagi berjalan, yang tertemukan hanyalah jalan tikus, atau lebh tepatnya jalan ular, kecil meliuk-liuk hingga jauh. Tak tahu sampai dimana jalan ini akan berakhir, namun yang pasti, tidak ada yang yakin diantara kami kalau perjalanan ini akan berakhir disore yang basah ini. Kemudian hujan semakin lebat. Takut, gelisah, dan lelah menghantui langkah kami.

***

“Agama itu madat bagi masyarakat…” tiba-tiba muncul sebuah ungkapan yang patut untuk diselediki lebih lanjut. Namun sepertinya tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam situasi seperti ini. Yang perlu didiskusikan adalah, bagaimana cara kita mendapatkan tumpangan pada jalan yang gelap dan sepi ini. Layaknya terowongan yang panjang.

“Ah, sialan pick up itu membodohi kita. Tadi katanya akan sampai Malang, nyatanya hanya sampai sini. Dimana ini, kota apa, malah jalanan gelap, sampai jauh gak ada lampu merah”.

“Iya, dasar orang Cina!” ujar Soe bersungut-sungut.

“Lho, tadi Cina ta yang kita tumpangi?” timpal Jali dengan wajah melongo, tak percaya kalau yang di tumpangi tadi orang Cina. Sejak perjalanan dimulai tadi pagi Cina selalu jadi bahan olokan, muncul ABC (anak buah cina) diantara kami.

“Emang dasar Cina itu, rakyat Jawa hanya dijadikan Babu dinegeri sendiri. Kalian tahu tempat kumuh dibawah jembatan Surabaya? Orang-orang mandi di kali, nyuci di kubangan, sedangkan mereka orang-orang Cina itu membangun rumah mewah dan menjadikan rakyat pribumi babu…”

“Eh, bukan, maksudku orang cina itu kurang ajar, kalau supir tadi bukan cina. Dia pribumi, tapi sama keparatnya!” terang Soe merasa bersalah.

“Oalah dasar kampret,. Tak kirain supirnya Cina, pas mau balik aku ke tempat semula kita numpang. Gak sudi aku sama Cina, meski bawa mobil Kijang sekalipun! Kalau kejadian Mei 1998 terulang, aku yang bakal berdiri di garda depan” tambah Jali semakin panas.
“Sudahlah, yang penting sekarang…”

“Eh lihat, ada truk plat N. Pasti mau ke Malang. Ayo cepat kejar…” teriak Supri sambl berlari. Parno marah-marah karena ucapannya dipotong oleh Gundi. Tapi ia juga ikut berlari dan berteriak-teriak.

Lima anak itupun kemudian berdiri menghadang truk yang sedang putar balik. Truk berhenti dengan kernetnya yang ngomel tidak karuan. Mungkin sebangsa umpatan kami terhadap orang Cina. Dan tanpa peduli anjing menggonggong, kami menyerbu naik ke atas truk. Akhirnya titik aman berjalan, dan nasib selanjutnya akan ditentukan oleh truk ini.

Malam mencair sebagaimana kegelisahan yang ada dalam dada kami. Kami berlima duduk berdempetan untuk menghangatkan diri. Lama kemudian aku menyarankan kepada Soe supaya mengambil tiga batang rokok untuk diberikan ke kernet agar redam amarahnya sehingga mau berhenti kalau diminta. Soe setuju dan mengacungkan sekaleng rokok terbaik yang kami punya ke arah spion truk. Beberapa detik selanjutnya mulailah Soe bertransaksi antara rokok dengan arah tujuan kami. Pandaan.

***

Sore itu, kami dipertemukan dengan Sabana yang tidak seberapa luas. Tidak ada setengah hektar, namun menakutkan karena tidak ada tanda bahwa tempat itu pernah ada yang melewati. Hantu-hantu di otak berkeliaran, meloncat-loncat hingga keresahan semakin bertambah. Jali, mencoba melangkahkan kakinya membelah sabana dengan rumput yang menyapa lutut kami. Ada banyak kekhawatiran yang muncul, ular sawah, air, dan harimau. Begitu pula tersesat. Keadaan yang gawat.

“Hula…!!!” panggil Gundi yang ada di deretan depan nomor dua. Aku menyahut keras dari belakang cepat-cepat. Kemudian hening lagi. Itulah memang rutinitas bagi orang yang ada didepan untuk memastikan bahwa kelompok dalam keadaan lengkap. Setiap saat harus memanggil teman terbelakang.

Kami terus berjalan mengikuti Jali yang tanpa basa basi melangkahkan kaki di rumput yang basah.

“Ini namanya lembah kidang !” beber Jali kepada kami. Entahlah, sebenarnya kami sudah tahu ini lembah kidang. Tapi berbicara memang membuat ketakutan kami sedikit berkurang.

“Ada kidangnya gak?” Tanya Supri yang ada tepat didepanku.

“Celaka kalau ada kidangnya” sahut Parno.

“Kenapa? Bukannya lebih enak, bisa kita buru terus makan prasmanan hehe..!!” elak Supri.
“Iya kalau seperti itu. Namanya hukum alam, ada kidang ada macan. Dan sepertinya kita yang akan dibuat prasmanan duluan oleh macan” jawabku.

Tiba-tiba angin berhembus menyisir tubuh kami. Aku menggigit gigiku –entah bagaimana caranya- karena dingin yang menyayat. Ku tolehkan kebelakang, hamparan rumput yang bergoyang bergantian bagai bernyanyi merayakan sesuatu. Kemelut hatiku menjadi-jadi. Aku merangsek ke depan dan menubruk Supri.

“Menakutkan bukan” Soe berbicara pelan. Angin menampar wajah kami hingga membisu. Tak ada yang bisa kami lakukan kecuali berdoa.

***

Truk berhenti tanpa aturan. Ngiik, dan gubrak!!! Kami kejang-kejang karena otot yang terlalu kaku setelah beberapa jam meringkuk di pojokan truk.

“He cong, udah sampai. Ayo ndang turun!” geram kernet truk sambil mencongolkan kepalanya sebentar, kemudian ia turun dan tak muncul lagi.

“Ada sedikit botak ditengah-tengah rambutnya” olok Supri.

“Walah, aneh-aneh wae. Yang penting sekarang sudah sampai. Ayo, move-move!”

“…???”
“…???”

“Move kemana? Ini dimana?” Tanya Soe yang kemudian membuat kami semakin terdiam. Ternyata dari tadi kami tertidur. Dan sekarang inilah ganjarannya.

“Ayo turun dulu…!”

Dan perjalanan panjang dan melelahkan dimulai tanpa kenal tempat, hingga reklame besar iklan obat tetes mata menarik mata-mata kami. Bukan tentang iklannya, namun ada sedikit yang menarik untuk di amati disebalik kaos ketat yang dipakai model. Sesuatu yang memang patut.
“Purwosari” ucapku kemudian.

“Ini Purwosari?” Tanya Jali.

“Oh sampai Purwosari, berarti sudah dekat ini. Tujuan kita Pandaan yo? Kurang beberapa kilo lagi” Timpal Gundi.

“Aman kalau begitu. Jalan kaki dulu ya, masih pegal-pegal badanku” ajak Supri.

“Iya jalan kaki saja dulu, ntar kalau sudah capek kita ngrampok truk atau pick up lagi” Soe menambahi.

“Kalian semua ini gimana, masa gak ada yang hafal jalur ini. Pandaan itu telah kita lewati dari tadi. Seharusnya itu yang benar. Ini Purwosari, kabupaten Pasuruan. Tapi letaknya Gunung Arjono aku yo masih gak tahu. Tuh ada orang jualan VCD, Tanya dulu” aku angkat bicara.

Dan benar saja, kota tujuan kita terlampau jauh terlewati, namun masih dalam titik aman karena ternyata Gunung Arjuno bisa ditempuh dari jalur Purwosari. Dan perjalanan berlanjut.

***

Sabana telah terlewati beberapa menit yang lalu. Namun memang tidak ada jejak perjalanan sama sekali. Hanya ada hutan dengan pepohonan yang homogen. Tinggi dan sebesar rangkulan kami.

Was-was merasuki setiap pori kulit kami, melemahkan sendi pergerakan kami dan tiba-tiba seseorang dari kami terduduk lemas di atas robohan pohon besar yang tampaknya sudah lapuk.
“Kita tersesat!” ucapnya datar. Tidak ada yang berkomentar. Keadaan memburuk dengan berhembusnya angin yang hampir membekukan darah, dengan kondisi gerimis dan pakaian yang basah.

“Kita tembus hutan, yang penting mengarah ke bawah. Toh tujuan kita ke lembah, tentu akan sampai juga” usul Soe.

Jali bergeming ketika semuanya bergerak mengikuti arah jalan Soe yang menerabas hutan. Ia kini dibelakangku.

“Kenapa?”

“Sepertinya usulan yang buruk!” jawab Jali. “Kita akan semakin tersesat nantinya. Jangan di ulangi otak monyet kita, terlampau banyak kebodohan yang kita perbuat selama perjalanan. Dan kondisi seperti ini, tenaga habis dan dingin menyerang. Lihat kondisi Gundi, wajahnya pucat. Sebaiknya kita tidak memaksakan diri untuk menerjang badai. Sesat!”

Memang benar. Serentak kami berlima duduk diatas tanah yang becek. Diam merasakan kesunyian yang sangar. Tidak ada suara sama sekali, hewan-hewan hutan rasanya sedang bersembunyi dari sesuatu yang buruk. Pikiran kami memang sudah mengarah ke hal-hal yang buruk.

“Kita menemukan kebuntuan jalan sebelum masuk sabana. Jadi sebaiknya kita kembali kesana, pasti ada jalan menuju ke lembah. Tak mungkin hilang begitu saja.”

“Dan sebaiknya kita menemukan jalan itu sebelum malam menjelang. Matahari terlalu condong kebarat saat ini.”

“Usul cemerlang, kita rebus ketela yang kita temukan di puncak Arjuno tadi.”
Kami semua tersenyum, dan sepertinya itu memang ide cemerlang.

***

Desa terakhir, desa yang tepat di kaki bukit Arjuno, Tambak Watu, telah terlampaui begitu jauh. Sekarang kami berada diketinggian sekian-sekian dpal. Tampak segenap peradaban di bawah sana, meski kabut terus menghalangi. Kami mantapkan kaki yang terlampau rapuh ini untuk terus mendaki. Nafas yang habis dipaksa alam, oksigen yang mulai berkurang membuat tenggorokan kami seperti tercekik.

Ada lima pemondokan yang harus kami lewati. Guo Ontobugo, Tampuono, Eyang Semar, Mangkuto Romo, dan yang terakhir SepiLar. Kelima-limanya membawa energi mistis yang tak mampu kami jelaskan. Sesajen dan wewangian dupa menyeruak pernafasan setiap kami melewati pemondokan. Bahkan ditempat yang terakhir..,

***

Api tidak bisa di hidupkan, terlampau basah dunia disana. Akhirnya spirtus kami tuang di kaleng bekas sarden yang kebetulan kami temukan di situ, api dinyalakan dan spirtus itu memberikan kehangatan yang begitu tipis. Setipis nasib yang akan membawa kami. Dan setipis itu pula, kematangan ketela kami. Api disana tidak bisa menyala sempurna sehingga terpaksa kami harus memakan ketela yang masih belum matang. Lagi pula, malam mengintai dipunggung kami.

Ide untuk kembali dan mencari jalan yang seharusnya ada memang intelek sekali. Memang ada jalan yang tertutup semak sehingga mata kami tidak mampu mengenalinya. Kami teliti jalan sekitar sebagaimana jalan yang sudah-sudah. Hal yang sangat sederhana yang kami cari. Bekas makanan, jajanan, minuman, atau apapun itu yang menunjukkan telah ada manusia sebelum kami yang melewati.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku berada didepan dengan berselimut jas hujan yang tak sempurna. Ternyata malam menemukan langkah kami. Aku terhenyak dengan perubahan yang begitu drastis. Sebagai penunjuk jalan aku tidak mampu melihat lima langkah didepanku. Supri yang tepat dibelakangku, dan memakai sebagian jas hujanku memegang senter kecil untuk menerangi jalanku. Tapi malam mengalahkannya.

Malam tidak dapat kami tembus. Kami ingin pulang, kami benar-benar ingin pulang. Padahal sudah terbayang kami akan membalas dendam dengan makan puas di rumah, berselimut tebal, dan tidur sampai lama. Sampai tidak bangun lagi.

***

Kami sudah diberi tahu oleh pertapa-pertapa disetiap pemondokan bagaimana keadaan puncak kalau musim hujan. Namun kami nekad, bukan berniat menyepelehkan, tapi memang itulah kekuatan takdir. Kami sadar-sesadarnya kalau ini sangat berbahaya, kemungkinan selamat sangat sedikit.

Petir menyambar, guntur menggelegar, badai menyapu ilalang, pepohonan terbakar, dan kami akhirnya harus menyerah pada alam. Dua temanku melepuh karena hanya separuh badan tersengat petir, satu lagi seperti kena listrik tegangan tinggi, satunya tertimpa pohon yang tumbang dan ikut melebur ke jurang, sedang aku melihat diriku sendiri terduduk tak bangun lagi. Hanya sakit yang terasa disekujur tubuhku, seperti terbakar, seperti dikuliti. Dunia menjadi ringan, aku terbang bebas mengawasi setiap inci puncak Gunung Arjuno yang hebat. Dan ingin kulanjutkan perjalanan panjang ini hingga sampai rumah. Namun hari terlanjur malam. Teman-temanku tidur nyenyak sekali. Tinggal aku sendirian yang berjaga dimalam gelap. Kuingin cepat pergi menembus malam, namun…

Malam tidak dapat kami tembus. Kami ingin pulang, kami benar-benar ingin pulang. Padahal sudah terbayang kami akan membalas dendam dengan makan puas di rumah, berselimut tebal, dan tidur sampai lama. Sampai tidak bangun lagi.

Dan perjalanan tak pernah usai.

Oleh : Fathul Qorib
best1alone.blogspot.com

Minggu, 28 Februari 2010

Tak Lagi

Sejarah kelam bangsa ini
Ketika tebasan kepala tak lagi berharga
Sungai darah manusia mengalir dengan derasnya
Seakan tak ada artinya!
Laras-laras bedil merobek kesunyian malam
Mengiris hati para ibu
Mendekap peluk erat anaknya
Seakan ingin berkata “tenanglah nak, ibu menjagamu!”
Dan, haruskah nyawa adalah bayaran atas sebuah perbedaan?
Apakah salib di gereja tak lagi bermakna?
Apakah kitab suci Budha tak lagi dibaca?
Apakah lafadz ALLAH di kubah masjid hanya hiasan saja?

Bukankah semua itu mengajarkan Dharma?
Sebuah kebaikan dimana manusia diciptakan untuk memanusiakan manusia lain

A.R. Rahma
2009-12-21

Jumat, 26 Februari 2010

Tercurinya Mimpi-mimpi

Di sudut negeri, kami hidup tanpa peduli apa itu demokrasi
Jauh di ujung negeri ini, kami hidup tanpa peduli kebijakan yang akan menutupi mimpi-mimpi kami
Di pojok rumah kami sendiri, kami hidup tanpa peduli apa itu nasionalisme yang kan menaungi
Di rumpun kehidupan yang kami jalani, kami hidup tanpa peduli apa itu idealisme untuk jadi politisi

Kami hidup sederhana, membangun mimpi-mimpi tentang surga
Kami hidup ala kadarnya, memupuk angan-angan dalam aliran darah rakyat jelata
Itu kami, dalam angan-angan tentang bahagia

Jangan bicarakan demokrasi kalau kalian tolol dan tak punya rasa untuk berbagi
Bagamana kalian bicarakan nasionalisme sedang bendera kita kau lupa apa warnanya?
Keadilan dan kebijakan adalah sampah-sampah hasil rapat diatas singgasana pemerintahan
Dirumpun kehidupan yang kami jalani ini, kami hidup, kerja keras, atas jerih payah sendiri

Burung-burung berkicau tentang kedamaian, angin lembut membawa sauh untuk berhenti sejenak merenung tentang kehidupan.
Lihatlah alam yang mulai berontak tentang keajaiban-keajaiban yang diciptakan manusia, rakus akan kekuasaan dan kehormatan.
Senja datang namun mereka tak sadar hingga malam membungkus waktu dan melebur detik menjadi gumpalan-gumpalan tak berarti tanpa adanya keributan.
Persiapkan dirimu tuk menjadi pejuang kebebasan, pemeluk adanya demokrasi yang bertanggung jawab akan kerusakan yang ditimbulkan.

Siapa yang kan disalahkan?
Mereka punya mimpi tentang arti sebuah bangku sekolah dan mendapatkannya dengan rasa sakit serta malu yang akan dijaga hingga akhir hayatnya
Mereka mempunyai mimpi tentang arti sebuah pendidikan dan mendapatkannya dengan memeras darah serta nyeri di hati yang ditahan hingga kematiannya
Mereka punya mimpi, tapi mimpi mereka telah dicuri oleh orang-orang berdasi dan mahasiswa yang hanya membesarkan nama dalam lengsernya suharto
Mereka punya mimpi, tapi mimpi mereka telah dibeli oleh perampok berkerah putih yang duduk manis memegang sepucuk pistol untuk tanda tangannya.

Siapa yang akan disalahkan?
Bendera lusuh yang tak lagi merah darah putih suci yang berkibar ragu setengah tiang jangan kau buat alasan untuk memperkosa hak-hak orang kecil hingga mimpi-mimpipun kau telan hingga hilang.
Jangan lagi bicarakan keadilan, kami muak
Jangan lagi bicarakan demokrasi, kami muak
Jangan lagi bicarakan idealisme, kami muak
Bicarakan sajalah, berapa uang rakyat yang bisa kau tilap

Apa ada yang mau mengatakan kalau uang dari hasil lonte itu haram?
Apa ada yang mau mengatakan kalau anak itu akan menjadi jahat karena uang yang ia makan tidak barokah?
Bangsat semua, yang duduk berdiskusi dengan jas baju safari.
Kukutuk kau dalam urat nadi seluruh bangsa, dalam aliran darah para jelata
Yang berjanji untuk rakyat, tertawa diatas kelaparan rakyat

Lihat, bendera ini lusuh, kusut, tiada lagi kegagahan yang dikibarkan
Burung garuda akan murka dan ganti menoleh kekiri sambil menangis tertahan
Untuk indonesiaku, yang kian tahun bertambah memalukan
Aku menangis untuk indonesiaku yang bertambah tua namun dilupakan

Siapa lagi yang menyanyikan lagu Indonesia raya dengan kebanggaan?
Siapa lagi yang akan mencium sang saka merah putih dengan penuh keikhlasan?
Siapa lagi yang akan menjaga Indonesia untuk saat ini dan seratus tahun kedepan?