Minggu, 04 April 2010

Kudapan Maut

Kugantung sisa-sisa napas kehidupanku pada akar lapuk
Menjuntai nyawaku pada dahan waktu yang nyaris rapuh
Menunggu saat tangan penebang merenggut dan menghentikan detaknya
Memeras getah hingga menggumpal sewarna mata Cleopatra
Mencabut kehidupan pada akar hingga tunas tak lagi dapat pijakannya
Kutatap nanar pada kekejian tangan takdir merengkuh mangsanya
Merobek keharu-biruan menjadi lenguhan malam
Mengantar yang fana pada gerbang keabadian
Serta bernafaskan nestapa menyesaki dada
Kuseret serpihan raga berujungkan entah dimana
Terpaku pada angin yang tak mampu bersuara menahan desaunya
terhirup aroma vanila bercampur darah, manis dan kejam
Hingga mengerang angin atas darah yang mengalir kering
Berderak-derak langkah takdir menunaikan hajatnya
Sementara di luar sana, entah dimana
Nyawa-nyawa tersaji menjadi kudapan maut.

A.R. Rahma
2010-03-02
kireina.chan@yahoo.com

Sesepi (jangkrik!)

Tak pernah merasa sesepi ini,
sesendiri ini,
cengkrama disebelahku semakin menyudutkanku pada sisi kesendirian
menyadarkan aku betapa pahit dan membingungkan sebuah kesepian
kalau ini memang sebuah hukuman, haruskah aku disalahkan?
Aku Malu pada malam, yang seolah semakin mengejekku dengan pelukan pekat tak berbatasnya
pada bintang, yang menerangi langit dengan kerlipnya tapi tidak pada bumiku
pada angin, yang membelai pucuk pepohonan tapi tidak berhembus pada sisiku
aku malu pada jangkrik jangkrik yang riuh meramaikan malam
menegakkan cuping-cuping telinga setan membisiki nurani semakin dalam
mengirim kesedihan pada pikiran tak beradab dibawah kendali nafsu
menukar rasionalitas pada pancungan akal dengan kamuflase harapan
pada akhirnya tuhan,
hanya pada engkaulah aku meratap.

A.R. Rahma
25-03-2010
kireina.chan@yahoo.com

Dan Perjalanan Tak Pernah Usai

Keletihan sesungguhnya telah memakan sebagian semangat kami untuk berjalan menuju lembah. Sejak pagi berjalan, yang tertemukan hanyalah jalan tikus, atau lebh tepatnya jalan ular, kecil meliuk-liuk hingga jauh. Tak tahu sampai dimana jalan ini akan berakhir, namun yang pasti, tidak ada yang yakin diantara kami kalau perjalanan ini akan berakhir disore yang basah ini. Kemudian hujan semakin lebat. Takut, gelisah, dan lelah menghantui langkah kami.

***

“Agama itu madat bagi masyarakat…” tiba-tiba muncul sebuah ungkapan yang patut untuk diselediki lebih lanjut. Namun sepertinya tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam situasi seperti ini. Yang perlu didiskusikan adalah, bagaimana cara kita mendapatkan tumpangan pada jalan yang gelap dan sepi ini. Layaknya terowongan yang panjang.

“Ah, sialan pick up itu membodohi kita. Tadi katanya akan sampai Malang, nyatanya hanya sampai sini. Dimana ini, kota apa, malah jalanan gelap, sampai jauh gak ada lampu merah”.

“Iya, dasar orang Cina!” ujar Soe bersungut-sungut.

“Lho, tadi Cina ta yang kita tumpangi?” timpal Jali dengan wajah melongo, tak percaya kalau yang di tumpangi tadi orang Cina. Sejak perjalanan dimulai tadi pagi Cina selalu jadi bahan olokan, muncul ABC (anak buah cina) diantara kami.

“Emang dasar Cina itu, rakyat Jawa hanya dijadikan Babu dinegeri sendiri. Kalian tahu tempat kumuh dibawah jembatan Surabaya? Orang-orang mandi di kali, nyuci di kubangan, sedangkan mereka orang-orang Cina itu membangun rumah mewah dan menjadikan rakyat pribumi babu…”

“Eh, bukan, maksudku orang cina itu kurang ajar, kalau supir tadi bukan cina. Dia pribumi, tapi sama keparatnya!” terang Soe merasa bersalah.

“Oalah dasar kampret,. Tak kirain supirnya Cina, pas mau balik aku ke tempat semula kita numpang. Gak sudi aku sama Cina, meski bawa mobil Kijang sekalipun! Kalau kejadian Mei 1998 terulang, aku yang bakal berdiri di garda depan” tambah Jali semakin panas.
“Sudahlah, yang penting sekarang…”

“Eh lihat, ada truk plat N. Pasti mau ke Malang. Ayo cepat kejar…” teriak Supri sambl berlari. Parno marah-marah karena ucapannya dipotong oleh Gundi. Tapi ia juga ikut berlari dan berteriak-teriak.

Lima anak itupun kemudian berdiri menghadang truk yang sedang putar balik. Truk berhenti dengan kernetnya yang ngomel tidak karuan. Mungkin sebangsa umpatan kami terhadap orang Cina. Dan tanpa peduli anjing menggonggong, kami menyerbu naik ke atas truk. Akhirnya titik aman berjalan, dan nasib selanjutnya akan ditentukan oleh truk ini.

Malam mencair sebagaimana kegelisahan yang ada dalam dada kami. Kami berlima duduk berdempetan untuk menghangatkan diri. Lama kemudian aku menyarankan kepada Soe supaya mengambil tiga batang rokok untuk diberikan ke kernet agar redam amarahnya sehingga mau berhenti kalau diminta. Soe setuju dan mengacungkan sekaleng rokok terbaik yang kami punya ke arah spion truk. Beberapa detik selanjutnya mulailah Soe bertransaksi antara rokok dengan arah tujuan kami. Pandaan.

***

Sore itu, kami dipertemukan dengan Sabana yang tidak seberapa luas. Tidak ada setengah hektar, namun menakutkan karena tidak ada tanda bahwa tempat itu pernah ada yang melewati. Hantu-hantu di otak berkeliaran, meloncat-loncat hingga keresahan semakin bertambah. Jali, mencoba melangkahkan kakinya membelah sabana dengan rumput yang menyapa lutut kami. Ada banyak kekhawatiran yang muncul, ular sawah, air, dan harimau. Begitu pula tersesat. Keadaan yang gawat.

“Hula…!!!” panggil Gundi yang ada di deretan depan nomor dua. Aku menyahut keras dari belakang cepat-cepat. Kemudian hening lagi. Itulah memang rutinitas bagi orang yang ada didepan untuk memastikan bahwa kelompok dalam keadaan lengkap. Setiap saat harus memanggil teman terbelakang.

Kami terus berjalan mengikuti Jali yang tanpa basa basi melangkahkan kaki di rumput yang basah.

“Ini namanya lembah kidang !” beber Jali kepada kami. Entahlah, sebenarnya kami sudah tahu ini lembah kidang. Tapi berbicara memang membuat ketakutan kami sedikit berkurang.

“Ada kidangnya gak?” Tanya Supri yang ada tepat didepanku.

“Celaka kalau ada kidangnya” sahut Parno.

“Kenapa? Bukannya lebih enak, bisa kita buru terus makan prasmanan hehe..!!” elak Supri.
“Iya kalau seperti itu. Namanya hukum alam, ada kidang ada macan. Dan sepertinya kita yang akan dibuat prasmanan duluan oleh macan” jawabku.

Tiba-tiba angin berhembus menyisir tubuh kami. Aku menggigit gigiku –entah bagaimana caranya- karena dingin yang menyayat. Ku tolehkan kebelakang, hamparan rumput yang bergoyang bergantian bagai bernyanyi merayakan sesuatu. Kemelut hatiku menjadi-jadi. Aku merangsek ke depan dan menubruk Supri.

“Menakutkan bukan” Soe berbicara pelan. Angin menampar wajah kami hingga membisu. Tak ada yang bisa kami lakukan kecuali berdoa.

***

Truk berhenti tanpa aturan. Ngiik, dan gubrak!!! Kami kejang-kejang karena otot yang terlalu kaku setelah beberapa jam meringkuk di pojokan truk.

“He cong, udah sampai. Ayo ndang turun!” geram kernet truk sambil mencongolkan kepalanya sebentar, kemudian ia turun dan tak muncul lagi.

“Ada sedikit botak ditengah-tengah rambutnya” olok Supri.

“Walah, aneh-aneh wae. Yang penting sekarang sudah sampai. Ayo, move-move!”

“…???”
“…???”

“Move kemana? Ini dimana?” Tanya Soe yang kemudian membuat kami semakin terdiam. Ternyata dari tadi kami tertidur. Dan sekarang inilah ganjarannya.

“Ayo turun dulu…!”

Dan perjalanan panjang dan melelahkan dimulai tanpa kenal tempat, hingga reklame besar iklan obat tetes mata menarik mata-mata kami. Bukan tentang iklannya, namun ada sedikit yang menarik untuk di amati disebalik kaos ketat yang dipakai model. Sesuatu yang memang patut.
“Purwosari” ucapku kemudian.

“Ini Purwosari?” Tanya Jali.

“Oh sampai Purwosari, berarti sudah dekat ini. Tujuan kita Pandaan yo? Kurang beberapa kilo lagi” Timpal Gundi.

“Aman kalau begitu. Jalan kaki dulu ya, masih pegal-pegal badanku” ajak Supri.

“Iya jalan kaki saja dulu, ntar kalau sudah capek kita ngrampok truk atau pick up lagi” Soe menambahi.

“Kalian semua ini gimana, masa gak ada yang hafal jalur ini. Pandaan itu telah kita lewati dari tadi. Seharusnya itu yang benar. Ini Purwosari, kabupaten Pasuruan. Tapi letaknya Gunung Arjono aku yo masih gak tahu. Tuh ada orang jualan VCD, Tanya dulu” aku angkat bicara.

Dan benar saja, kota tujuan kita terlampau jauh terlewati, namun masih dalam titik aman karena ternyata Gunung Arjuno bisa ditempuh dari jalur Purwosari. Dan perjalanan berlanjut.

***

Sabana telah terlewati beberapa menit yang lalu. Namun memang tidak ada jejak perjalanan sama sekali. Hanya ada hutan dengan pepohonan yang homogen. Tinggi dan sebesar rangkulan kami.

Was-was merasuki setiap pori kulit kami, melemahkan sendi pergerakan kami dan tiba-tiba seseorang dari kami terduduk lemas di atas robohan pohon besar yang tampaknya sudah lapuk.
“Kita tersesat!” ucapnya datar. Tidak ada yang berkomentar. Keadaan memburuk dengan berhembusnya angin yang hampir membekukan darah, dengan kondisi gerimis dan pakaian yang basah.

“Kita tembus hutan, yang penting mengarah ke bawah. Toh tujuan kita ke lembah, tentu akan sampai juga” usul Soe.

Jali bergeming ketika semuanya bergerak mengikuti arah jalan Soe yang menerabas hutan. Ia kini dibelakangku.

“Kenapa?”

“Sepertinya usulan yang buruk!” jawab Jali. “Kita akan semakin tersesat nantinya. Jangan di ulangi otak monyet kita, terlampau banyak kebodohan yang kita perbuat selama perjalanan. Dan kondisi seperti ini, tenaga habis dan dingin menyerang. Lihat kondisi Gundi, wajahnya pucat. Sebaiknya kita tidak memaksakan diri untuk menerjang badai. Sesat!”

Memang benar. Serentak kami berlima duduk diatas tanah yang becek. Diam merasakan kesunyian yang sangar. Tidak ada suara sama sekali, hewan-hewan hutan rasanya sedang bersembunyi dari sesuatu yang buruk. Pikiran kami memang sudah mengarah ke hal-hal yang buruk.

“Kita menemukan kebuntuan jalan sebelum masuk sabana. Jadi sebaiknya kita kembali kesana, pasti ada jalan menuju ke lembah. Tak mungkin hilang begitu saja.”

“Dan sebaiknya kita menemukan jalan itu sebelum malam menjelang. Matahari terlalu condong kebarat saat ini.”

“Usul cemerlang, kita rebus ketela yang kita temukan di puncak Arjuno tadi.”
Kami semua tersenyum, dan sepertinya itu memang ide cemerlang.

***

Desa terakhir, desa yang tepat di kaki bukit Arjuno, Tambak Watu, telah terlampaui begitu jauh. Sekarang kami berada diketinggian sekian-sekian dpal. Tampak segenap peradaban di bawah sana, meski kabut terus menghalangi. Kami mantapkan kaki yang terlampau rapuh ini untuk terus mendaki. Nafas yang habis dipaksa alam, oksigen yang mulai berkurang membuat tenggorokan kami seperti tercekik.

Ada lima pemondokan yang harus kami lewati. Guo Ontobugo, Tampuono, Eyang Semar, Mangkuto Romo, dan yang terakhir SepiLar. Kelima-limanya membawa energi mistis yang tak mampu kami jelaskan. Sesajen dan wewangian dupa menyeruak pernafasan setiap kami melewati pemondokan. Bahkan ditempat yang terakhir..,

***

Api tidak bisa di hidupkan, terlampau basah dunia disana. Akhirnya spirtus kami tuang di kaleng bekas sarden yang kebetulan kami temukan di situ, api dinyalakan dan spirtus itu memberikan kehangatan yang begitu tipis. Setipis nasib yang akan membawa kami. Dan setipis itu pula, kematangan ketela kami. Api disana tidak bisa menyala sempurna sehingga terpaksa kami harus memakan ketela yang masih belum matang. Lagi pula, malam mengintai dipunggung kami.

Ide untuk kembali dan mencari jalan yang seharusnya ada memang intelek sekali. Memang ada jalan yang tertutup semak sehingga mata kami tidak mampu mengenalinya. Kami teliti jalan sekitar sebagaimana jalan yang sudah-sudah. Hal yang sangat sederhana yang kami cari. Bekas makanan, jajanan, minuman, atau apapun itu yang menunjukkan telah ada manusia sebelum kami yang melewati.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku berada didepan dengan berselimut jas hujan yang tak sempurna. Ternyata malam menemukan langkah kami. Aku terhenyak dengan perubahan yang begitu drastis. Sebagai penunjuk jalan aku tidak mampu melihat lima langkah didepanku. Supri yang tepat dibelakangku, dan memakai sebagian jas hujanku memegang senter kecil untuk menerangi jalanku. Tapi malam mengalahkannya.

Malam tidak dapat kami tembus. Kami ingin pulang, kami benar-benar ingin pulang. Padahal sudah terbayang kami akan membalas dendam dengan makan puas di rumah, berselimut tebal, dan tidur sampai lama. Sampai tidak bangun lagi.

***

Kami sudah diberi tahu oleh pertapa-pertapa disetiap pemondokan bagaimana keadaan puncak kalau musim hujan. Namun kami nekad, bukan berniat menyepelehkan, tapi memang itulah kekuatan takdir. Kami sadar-sesadarnya kalau ini sangat berbahaya, kemungkinan selamat sangat sedikit.

Petir menyambar, guntur menggelegar, badai menyapu ilalang, pepohonan terbakar, dan kami akhirnya harus menyerah pada alam. Dua temanku melepuh karena hanya separuh badan tersengat petir, satu lagi seperti kena listrik tegangan tinggi, satunya tertimpa pohon yang tumbang dan ikut melebur ke jurang, sedang aku melihat diriku sendiri terduduk tak bangun lagi. Hanya sakit yang terasa disekujur tubuhku, seperti terbakar, seperti dikuliti. Dunia menjadi ringan, aku terbang bebas mengawasi setiap inci puncak Gunung Arjuno yang hebat. Dan ingin kulanjutkan perjalanan panjang ini hingga sampai rumah. Namun hari terlanjur malam. Teman-temanku tidur nyenyak sekali. Tinggal aku sendirian yang berjaga dimalam gelap. Kuingin cepat pergi menembus malam, namun…

Malam tidak dapat kami tembus. Kami ingin pulang, kami benar-benar ingin pulang. Padahal sudah terbayang kami akan membalas dendam dengan makan puas di rumah, berselimut tebal, dan tidur sampai lama. Sampai tidak bangun lagi.

Dan perjalanan tak pernah usai.

Oleh : Fathul Qorib
best1alone.blogspot.com